Pemerintah akan menggelar acara rutin tahunan yang menjadi “tolok ukur”
pendidikan nasional yakni Ujian Nasional yang dilaksanakan selama pertengahan
akhir April sampai awal Mei tahun ini, untuk SMA/MA tanggal 15 – 18 April 2013,
untuk SMP/MTs tanggal 22 -25 April 2013 dan untuk SD/MI tanggal 6 – 8 Mei 2013.
Namun, kegiatan tahunan ini tidak pernah lepas dari isu kebocoran soal walaupun
pemerintah yang diwakili Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan
jaminan
kerahasiaan soal ujian.
kerahasiaan soal ujian.
Isu kebocoran soal menandakan bahwa bangsa kita masih belum siap dengan
budaya jujur, bahkan di lingkungan pendidikan sekalipun yang nota bene sebagai
tempat pembentukan karakter generasi muda kita. Tentu masih segar dalam ingatan
kita kasus Alif dan Muhammad Abrary, dua siswa jujur yang melaporkan kecurangan
di tempatnya belajar, namun mendapat tantangan dari pihak sekolah. Hal ini
merupakan bukti bahwa dunia pendidikan masih belum bersih dari ketidakjujuran.
Meminjam istilah Acep Iwan Saidi “Dunia pendidikan tidak melahirkan asosiasi
kejujuran” (Saidi, Kompas, 9 April 2013). Orang tidak lagi mengindahkan
kejujuran dan celakanya ternyata siswa kita tumbuh di lingkungan yang tidak
jujur. Padahal merekalah yang menjadi tumpuan harapan bangsa ini agar terbebas
dari segala bentuk kebohongan termasuk terbebas dari korupsi yang sangat
membelit bangsa ini.
Jujur dan Rezeki
Akibat ketidakjujuran tersebut fatal mengingat anak didik adalah generasi
penerus yang pada gilirannya akan memegang peran dalam mewarnai kehidupan
bangsa ini. Merekalah tumpuan harapan akan keberlangsungan kehidupan bangsa
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Di pundak merekalah kita berharap
kehidupan bangsa yang lebih baik, kehidupan yang sejahtera tanpa korupsi.
Permasalahan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini pada hakikatnya
merupakan akibat ketidakjujuran.
Kejujuran merupakan sumber kebaikan dan modal kehidupan. Dalam konsep
teologi profetik sesungguhnya setiap orang itu itu telah ditentukan kadar
rezekinya oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Apapun yang dilakukan seseorang tentu
akan menghasilkan kadar rezeki yang telah ditentukan tersebut, tidak kurang dan
tidak lebih. Alangkah meruginya jika rezeki yang diperoleh itu diwarnai dengan
kecurangan atau ketidakjujuran. Dalam konteks Ujian Nasional, sesungguhnya
setiap orang itu sudah ditentukan lulus atau tidak lulus oleh Tuhan yang Maha
Kuasa, apapun yang dilakukan seseorang jika Tuhan menghendaki lulus maka ia
akan lulus. Maka beruntunglah orang yang lulus dan tidak mengotori kelulusannya
tersebut dengan kecurangan.
Belajar dari Kisah Ketidakjujuran
Kisah pengembala kambing yang suka berbohong barangkali bisa dijadikan
pelajaran betapa pentingnya sebuah kejujuran. Dikisahkan di sebuah desa dekat
hutan, hidup seorang penggembala kambing. Suatu hari dia menggembalakan
kambingnya di padang
rumput dekat hutan. Dengan kekonyolannya dia berteriak-teriak bahwa kambingnya
diterkam harimau padahal tidak ada harimau yang menerkam kambingnya. Perbuatan
konyolnya ini menyebabkan orang-orang desa berlarian dengan maksud mengusir
harimau dan menolong si penggembala itu. Namun mereka kecewa karena ternyata
mereka telah dibohongi sementara si penggembala tertawa terpingkal-pingkal
karena tipu muslihatnya berhasil membuat kegaduhan. Pada hari berikutnya dia
melakukan hal yang sama, untuk kedua kalinya orang-orang desa terperdaya lagi
dan si penggembala semakin gembira. Hingga pada suatu hari, segerombolan
serigala benar-benar datang menerkam kambing-kambingnya. Si penggembala pun
berteriak minta tolong tapi tidak ada seorangpun penduduk desa yang menolongnya
karena menduga akan dibohongi lagi.
Dalam dunia bisnispun kejujuran menjadi penentu kesuksesan, namun
tampaknya hal ini belum bisa dipahami secara utuh oleh sebagian besar manusia Indonesia
hingga akhirnya rela melakukan kecurangan, termasuk dalam Ujian Nasional.
Mengapa Tak Jujur?
Permasalahan ketidakjujuran ini bukan tanpa sebab, faktor utama
terjadinya berbagai macam kecurangan ini adalah paradigma yang salah dalam
memahami ujian. Sebagian besar memahami ujian adalah penentu kelulusan semata
sehingga berbagai cara ditempuh untuk mencapai predikat “lulus”. Jika tidak
lulus dunia kiamat, stress berat bahkan bunuh diri menjadi jalan pintas
penyelesaian masalah. Pemahaman seperti ini menyebabkan perilaku tidak jujur. Ujian
Nasional tidak sesederhana itu, UN tidak hanya melulu tentang lulus dan tidak
lulus, tetapi UN juga merupakan ujian kejujuran bagi siswa, orang tua, sekolah
dan pemerintah. Menurut Herlini Amran, anggota komisi X DPR RI "Pelaksanaan UN sejatinya bukan hanya penegasan standar kelulusan, tapi dalam konteks ber-Indonesia, UN juga menjadi barometer kejujuran peserta didik."
Faktor kedua adalah lingkungan yang tidak jujur. Selama ini sebagian besar siswa kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan tidak jujur. Kita amati dari kasus-kasus Alif Muhammad Abrary di atas ternyata ketidakjujuran itupun melibatkan banyak pihak termasuk sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sekolah seharusnya bertanggung jawab atas pemebentukan karakter siswanya terutama dalam hal kejujuran peserta didiknya. Jika sekolah sudah masuk ranah ketidakjujuran ini, tentu sangat membahayakan keberlanjutan pembentukan karakter kejujuran. Bagaimana mau mendidik dan mengarahkan siswa untuk bisa jujur, jika dalam masalah UN saja pihak sekolah tidak lulus alias menlakukan kecurangan? bahkan mungkin kecurangan yang sistematis.
Faktor ketiga, apresiasi dan penghargaan yang kurang terhadap kejujuran. Apresiasi dan penghargaan dalam hal ini tidak hanya diartikan atau diukur oleh sejumlah materi, namun juga berupa perlindungan terhadap kejujuran. Kasus Alif dan Abrary menjadi contoh kurangnya perlindungan kepada kejujuran. Nasib Abrary dimusuhi teman dan gurunya bahkan nasib lebih tragis menimpa Alif dan keluarganya yang rela terusir dari kampung halamannya lantaran bersikap jujur.
Solusi Komprehensif
Faktor kedua adalah lingkungan yang tidak jujur. Selama ini sebagian besar siswa kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan tidak jujur. Kita amati dari kasus-kasus Alif Muhammad Abrary di atas ternyata ketidakjujuran itupun melibatkan banyak pihak termasuk sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sekolah seharusnya bertanggung jawab atas pemebentukan karakter siswanya terutama dalam hal kejujuran peserta didiknya. Jika sekolah sudah masuk ranah ketidakjujuran ini, tentu sangat membahayakan keberlanjutan pembentukan karakter kejujuran. Bagaimana mau mendidik dan mengarahkan siswa untuk bisa jujur, jika dalam masalah UN saja pihak sekolah tidak lulus alias menlakukan kecurangan? bahkan mungkin kecurangan yang sistematis.
Faktor ketiga, apresiasi dan penghargaan yang kurang terhadap kejujuran. Apresiasi dan penghargaan dalam hal ini tidak hanya diartikan atau diukur oleh sejumlah materi, namun juga berupa perlindungan terhadap kejujuran. Kasus Alif dan Abrary menjadi contoh kurangnya perlindungan kepada kejujuran. Nasib Abrary dimusuhi teman dan gurunya bahkan nasib lebih tragis menimpa Alif dan keluarganya yang rela terusir dari kampung halamannya lantaran bersikap jujur.
Solusi Komprehensif
Adapun solusi yang diberikan sampai saat ini belumlah menyentuh pada
persoalan pokok. Solusi tersebut masih berkutat pada permasalahan teknis
seperti menambah variasi soal atau pengawasan yang diperketat. Solusi tersebut
bisa dipakai tetapi untuk sementara waktu (tidak permanen) karena jika
permasalahan pokok ketidakjujuran ini belum teratasi, ternyata masih banyak
celah untuk melakukan berbagai kecurangan baru yang belum terpikirkan
sebelumnya.
Solusi yang diberikan harusnya solusi yang menyeluruh dan menyentuh pada
permasalahan pokok walaupun memang membutuhkan waktu lama. Namun ini bersifat komprehenstif
dan permanen.
Solusi pertama adalah dengan menanamkan kejujuran sejak dini. Penanaman
kejujuran sejak dini ini tidak bisa dilakukan oleh pihak sekolah saja, justru
dalam hal ini yang paling berperan adalah keluarga. Keluarga sebagai sekolah pertama
bagi anak dan orang tua sebagai guru pertama bagi anak. Membiasakan jujur dan
menciptakan lingkungan yang jujur bagi anak harus dimulai dari keluarga dan
orang tua. Oleh karena itu orang tua harus memahami betul perkembangan
anak-anaknya. Jika anak mulai terpengaruh ketidakjujuran, hendaknya orang tua
dan guru segera tanggap dengan melakukan pendekatan-pendekatan agar
ketidakjujuran tersebut tidak menjadi budaya apalagi menjadi justifikasi
pembenaran.
Dalam konteks ujian, tekankan pada pentingnya proses, bukan hasil. Lebih
baik nilai apa adanya hasil kejujuran daripada nilai bagus tapi hasil mencontek.
Artinya orang tua atau guru tidak perlu marah jika anak atau siswanya mendapat
nilai jelek, tetapi telusurilah kesulitan mereka lalu bantulah mereka mengatasi
kesulitan tersebut. Dengan demikian diharapkan akan terbentuk pribadi-pribadi
yang jujur yang pada gilirannya akan melahirkan lingkungan yang jujur.
Solusi kedua, mengubah paradigma Ujian Nasional. Bahwa Ujian Nasional
tidak hanya sekadar ujian Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau mata
pelajaran tertentu, tetapi Ujian Nasional juga merupakan Ujian Kejujuran.
Dengan demikian tuntutannya tidak hanya sekedar lulus ujian nasional tetapi
juga lulus ujian kejujuran.
No comments:
Post a Comment